Friday, February 15, 2019

NAMAKU NAYA - 2



Aku berjalan sendiri menuju tempat yang aku tuju, berjalan santai sambil menikmati panasnya matahari siang itu. Ku sapu pandanganku keseluruh bagian di daerah gedung fakultasku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk duduk di SC dan menghabiskan waktu untuk membaca novel kesukaanku selagi menunggu untuk kelas berikutnya di hari itu.
Aku duduk menyendiri. Ku pasang headsetku dengan alunan musik mengadu. Ku buka lembar demi lembar buku yang ada di tanganku, untuk akhirnya berhenti dihalaman ketika ku membaca itu terakhir kali. Ku nikmati waktu kesendirianku dengan membaca novel dan medengarkan alunan musik merdu yang menambah suasana tenang di diriku. Hingga akhirnya ku terkejut dan itu membuyarkan ketenanganku. Aku tidak sadar ada seseorang yang duduk disebelahku.
“Hai Naya.” Sapanya tiba-tiba. Aku terkejut dan tersadar akan keberadaannya disampingku, entah sudah berapa lama dia berada disana.
“Hai.” Kutolehkan kepalaku sebentar dengan pandangan menyipit tertanda bingung. Tentu, aku kebingungan. Darimana dia tahu namaku, sedangkan aku sama sekali tidak mengenalnya.
“Siapa?” kutanya.
“Nanti kamu juga tahu sendiri siapa aku.” Balasnya sambil nyengir.
Dia itu kenapa? Ah tingkahnya aneh banget, sumpah. Ku abaikan dia dan tidak ku balas apa-apa, hanya tersenyum samar saja.
Yakin, aku sungguh tidak mengenalnya. Ya mungkin saja anak kampus sini tapi tidak pernah kulihat. Kupikir dia hanya sedang iseng dan tentunya tidak ada kerjaan, sehingga harus menganggu ketenanganku membaca novel.
Tidak lama setelah itu dia mendapat telpon, ponselnya berdering. Aku tidak sedang ingin menguping, tapi aku sungguh-sungguh mendengar, dan sepertinya dia akan segera pergi untuk menemui seseorang.
“Naya mau ikut? Aku mau makan siang sama temen-temen.” Tanyanya.
“Makasih, tapi enggak. Aku abis ini mau kelas.”
Nekat banget ni orang, kenal aja belum eh sudah ajak makan aja. Pikirku dalam hati.
“Oh oke. Yasudah aku duluan ya.” Katanya berpamitan.
Hanya kubalas dia dengan anggukan tanpa kata. Dia berlalu, berjalan santai menuju parkiran motor kampus.
***
Sore itu hujan turun cukup deras ketika kelas telah usai. Ah benar-benar menyebalkan, aku terjebak di depan kelas bersama teman sekelasku lainnya. Ada Tara, dan Sekar teman dekatku. Kami berbincang banyak hal untuk menghabiskan waktu selama menunggu. Hingga suatu ketika ponselku bergetar, ada sebuah pesan masuk. Sebuah pesan dari nomor tanpa nama. Keningku berkerut penuh tanya, dan segera kubuka isi pesan itu yang bertuliskan:
“PETING! Diberitahukan untuk mahasiswa yang bernama Naya, Fakultas Bahasa dan Seni untuk rajin menghadiri kelas pada hari Senin jam 13-15 di ruang B108, Selasa jam 11-13 di ruang F112, dan Kamis jam 7-10 di ruang G302. Tidak diperkenankan membolos. Terima kasih.”
Kedua alisku terangkat. Sama sekali tidak mengerti mengapa seseorang mengirimiku pesan seperti ini, dengan jadwal kelas yang lengkap dengan jam dan ruangan yang benar. Sungguh, itu memang benar jadwal kuliahku. Bagaimana dia tahu? Dan siapa pengirimnya?
“Siapa?” kubalas pesan itu.
“Nanti kamu juga tahu sendiri siapa aku.” Benar, kalimat balasannya itu mengingatkanku pada orang aneh yang kutemui siang tadi.
“Dapat nomorku dari mana? Tahu jadwalku dari mana?”
“Kamu itu suka banget bertanya ya. Nanti kamu juga tahu sendiri dapat dari mana.” Sumpah, dia ini sungguh menyebalkan. Rasanya ku ingin marah, hmm meladeni orang aneh macam dia bikin emosi saja. Jadi pesannya tidak ku balas lagi. Dia pun akhirnya tidak mengirimiku pesan apa-apa lagi. Ya lebih baik begitu.
Tapi siapa sih dia itu?
***

Tuesday, February 5, 2019

NAMAKU NAYA - 1



Namaku Naya. Hanya Naya. Tanpa nama depan dan nama belakang. Lucu ya? Singkat banget. Hmm, jadi begini asal usulnya. Papa pernah bercerita padaku bahwa nama itu adalah sebuah singkatan dari “Anak Yuri dan Angga”
            Mama Yuri, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Tidak pernah ada waktu untukku. Hubungan kami  tidak akrab seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya. Setelah Papa meninggal, kami hanya berkomunikasi seperlunya. Tidak pernah lebih dari itu. Mama selalu berangkat pagi-pagi sekali ketika aku belum terbangun dari tidur, dan pulang malam-malam sekali ketika aku sudah tertidur.
            Aku sangat kecewa pada dirinya. Dia telah berubah, bukan seperti Mamaku yang dulu. Dia yang dulu selalu ada untukku, dia yang dulu selalu mementingkan aku terlebih dulu dari pada pekerjaannya. Kami yang dulu sering tertawa bersama, bercerita banyak hal, melakukan banyak hal bersama. Bahkan dulu dia pernah dipecat oleh atasannya karena lebih memilih merayakan ulang tahunku yang ke 15 dari pada pekerjaan pentingnya kala itu.
“Pekerjaan masih bisa dicari, tapi gadis cantik seperti Aya sulit untuk dicari.” Ucapnya berbisik kala itu. Ya, jadi begitulah. Dulu hubungan kami sangat baik.
            Papa Angga, dia selalu baik padaku. Hubungan kami sangat baik dan aku menyayanginya. Dia adalah  partner terbaikku dalam melakukan banyak hal. Bernyanyi dan bermain musik, travelling keliling Indonesia bersamanya dan Mama, dan masih banyak lagi. Papa selalu bisa membuat suasana menjadi begitu menyenangkan. Ya, dia selalu bisa membuatku bahagia, meskipun disaat dirinya dalam situasi sulit sekalipun. Bahkan didetik-detik terakhir kepergiannya dari dunia ini, ia masih bisa membuatku bahagia dan tertawa. Kala itu aku merayakan pesta ulang tahun ke 17 ku dirumah, tanpa ditemani dirinya dan Mama. Ya, Papa sedang berjuang melawan penyakitnya di rumah sakit, sedangkan mama menemaninya. Pukul 10 malam, jam dimana aku benar-benar tidak tahu bahwa mereka memberiku kejutan. Ditengah-tengah pesta ulang tahunku tiba-tiba lampu padam dan terjadi gelap gulita disana. Beberapa menit kemudian LCD menyala dan menampilkan video kebersamaan kami, aku, mama dan papa.  
“Hai sayang. Selamat ulang tahun yang ke 17 ya, ternyata cepet banget ya Aya tumbuh besar? Padahal papa berharap Aya umur 5 tahun terus hlo biar papa bisa gendong Aya. Kalau sekarang ini kan Aya udah gede, ga bisa lagi deh papa gendong, Aya sudah berat dan Papa udah gak kuat lagi gendong Aya. Aya jangan nangis atau sedih ya, papa paling ga suka, soalnya Aya kelihatan jelek banget mukanya. Lagi pula Aya lebih cantik kalau lagi ketawa, apalagi kalau ketawanya sambil mukul apa aja yang ada disekeliling Aya. Papa sering banget tuh kena pukul Aya kalo lagi ketawa, sakit sih sedikit, tapi gapapa kok Papa suka kalo Aya ketawa. Pokoknya Aya jangan sedih-sedih ya, apalagi sampai nangis, kalau ada apa-apa Aya cerita aja sama Papa. Kalau Aya mau bikin papa seneng itu gampang aja kok, jangan nangis dan sedih aja cukup. Yasudah selamat bersenang-senang dengan teman-teman Aya lagi ya, Dahh. Love You.” Itu yang Papa katakan padaku sebelum ia pergi. Setengah jam setelah itu Papa pergi. Iya pergi, pergi dari dunia ini. Disaat aku sedang bercanda bersama teman-teman, tiba-tiba Bi Iem datang membawa kabar itu. Bahwa Papa meninggal dunia. Ya, kamu pasti tahu bagaimana perasaanku kala itu. Benar-benar hadiah ulang tahun yang tidak pernah aku harapkan ada.  
Dan sekarang hanya tersisa aku dan mama. Sebab aku adalah anak satu-satunya dari Yuri Yuniarti dan Angga Putra. Aku cukup beruntung, karena aku dilahirkan oleh Papa dan Mama yang baik, dan lumayan berduit. Aku tinggal dirumah yang cukup besar di Jakarta, itu setelah kami pindah dari Bandung. Aku dan Mama pindah ke Jakarta setelah kepergian Papa. Karena saat itu, setelah Mama dipecat ia kembali mencari pekerjaan dan akhirnya diterima di Jakarta.  Kami berdua pun pindah, dan dengan sangat terpaksa dan berat hati aku harus meninggalkan segala kenangan indahku bersama Papa, di Bandung. Aku pun pindah dari SMAku yang dulu, dimana seluruh populasi teman-teman terbaikku menuntut ilmu.
Disini, sekarang aku meninggalkan segala kenangan di masa lalu dan hidup kembali dengan memulainya dari awal. Berat, sangat berat. Sebab sulit bagiku melupakan cerita-cerita indah yang telah membekas, yang merasuk sampai ke ujung nadi. Hahh...
Kemudian aku melanjutkan pendidikanku, menjadi mahasiswi di Universitas ternama. Dan, dari sanalah aku bertemu seseorang yang bisa merubah pemikiranku, hidupku dan yang mengingatkanku akan Papa yang telah lama pergi. Dari sinilah kisah baruku dimulai.