KISAH INI PERNAH ADA
Dua orang lelaki itu datang
menghampiriku dengan senyum ceria menghiasi wajahnya, tangan mereka dipenuhi
beberapa mangkuk mie ayam.
“Silahkan nona ini hidangannya sudah
siap” Ucap salah satu dari mereka yang bertubuh tinggi dengan wajahnya sedikit
menggoda.
Rafael Deven. Cowok player yang sudah menjadi sahabatku sejak
pertama kali aku menjadi mahasiswa. Tatapannya yang genit, tubuhnya yang tinggi,
dan cara berpakaiannya itu membuatku terhipnotis. Tunggu, dia memang sahabatku
tapi aku mengaguminya. Hanya sekedar mengaguminya, tidak jatuh cinta atau
selebihnya.
“Selamat makan!” Ucap seorang yang
lain.
Brian Aditya. Cowok yang sangat
berbeda dengan Rafael. Cowok kalem yang juga sudah menjadi sahabatku sejak
pertama kali aku menjadi mahasiswa. Tatapannya yang lebih menyejukkan, dan
sikapnya yang periang itu selalu menjadi obat kebahagiaanku.
Ya, jadi mereka berdua adalah
sahabatku sekaligus abang.
Seusai
makan kami langsung menuju ke kampus. Jarak dari tempat kami makan, ke kampus
tidak jauh, jadi kami hanya berjalan kaki.
“Kok
lu pendek sih Bri? Cowok tu harusnya tinggi kayak gue”
“Parah
lu bang” Ujarku sambil menepuk pundak bang El.
“Biar
dah, yang penting ganteng.” Balas Brian berlagak sombong.
Sontak
tawa kami berderai. Tertawa lepas seakan jalan hanya milik kami bertiga.
Bang
El merangkul dan mengacak pangkal rambut kami berdua dengan tawanya yang masih
terlukis di wajahnya. “Nggak-nggak. Mau kalian pendek, jelek, bahkan gak punya
duit pun kalian tetep adek-adek
kesayangan gue.”
Tanpa
sadar kami sudah sampai di kampus.
“Yaudah
bang, aku mau ketemu temen dulu.”
“Yaudah
kita tunggu di kantin sama temen-temenku. Jangan lama-lama, nanti bang Bri
kangen hlo.” Ucap bang El tersenyum.
Aku
pun pergi dengan senyuman yang masih menghiasi wajahku.
***
Ku lihat sebuah pesan di layar
ponselku dari bang El. Tulisnya “Dee, kita di tempat duduk paling pojok kantin
ya, nanti langsung kesini aja. Gapapa kan ada temen-temenku?”
“Gapapa bang, ini aku udah mau jalan
ke kantin.” Balasku
Sedetik setelah ku kirim balasanku
padanya, balasaan pesan itu sudah datang lagi ke layar chatku “Yaudah ati-ati
jalannya, awas kesandung.”
“E, e, mak” umpatku keras setelah
kakiku menyandung sebuah batu yang tergeletak sembarangan dijalan. Uuh sial,
bagaimana bisa bang El mengatakan itu sebelum aku benar-benar tersandung.
Aku berjalan perlahan menghampiri
abangku disana. Tidak kusangka ia akan menghampiriku ditempatku berdiri saat
ini. Sedikit ku lempar pandanganku pada teman-teman abang, dan ya sekarang
semua menatap kearah kami. Ada bang Bri juga disana sedang menatap kami.
“Mau
langsung balik kos atau disini dulu?” Tanyanya padaku.
“Disini
dulu juga gapapa.”
“Yaudah
ayo sini.” Ia mengajakku untuk duduk bergabung bersama teman-temannya.
Ya,
ini pertama kalinya ia mengajakku bergabung bersama teman-temannya setelah
pertemanan kami yang cukup lama.
“Siapa
El? temen?” Tanya seorang pada abang.
“Yaa,
Lex temen.”
“Oh,
Karin temennya Rafael?” Tanya seorang teman abang yang bernama Alex itu padaku.
“Iya.”
Jawabku singkat.
Untuk
pertama kalinya aku bergabung besama mereka, jujur aku hanya bisa diam, sebab
mereka masih terlalu asing untukku, tapi aku senang bisa duduk disini bersama
mereka. Aku duduk disamping bang El sambil mengamati tingkah-tingkah temannya,
sedangkan ia sibuk memainkan poniku yang dikucir menyundul itu. Hmm, menurutku
mereka teman-teman yang baik, dan asik tentunya, aku harap suatu saat aku bisa
selalu duduk disini bersama mereka dan menjadi salah satu dari mereka.
Waktu
terus berjalan, dan tidak kusangka jam menunjukkan pukul setengah tiga sore.
Aku dan bang El pun segera kembali ke kosnya, sedangkan bang Bri sedang
mengurus uang kuliahnya.
Kosnya
tak jauh dari kampus, cukup berjalan kaki saja. Namun nampaknya cuaca tak
mendukung kami untuk berjalan kaki, gerimis-gerimis kecil mulai mengguyur tubuh
kami. Aku berjalan sedikit lebih dulu dibandingkan abang, berharap kami akan
segera sampai dan tidak akan kehujanan. Namun siapa sangka, bang El akan
melepas jaketnya untuk menutupi kepalaku dari rintik hujan. Astaga. Apa ini
kisah sinetron, FTV atau semacamnya, pikirku senang.
Untung
saja hujan tidak deras mengguyur, jadi baju dan kepala kami masih dalam kondisi
nyaman dan aman.
“Bang
aku disini dulu yaa, nanti jam 5 ada rapat panitia soalnya, abis itu ngamen.”
Ucapku sedikit malas.
“Okay
siapp gapapa, sampe jam berapa emangnya?”
“Gatau
tuh, mungkin jam 10an.”
“Malem
banget dee, nanti kalo kamu dah mau pulang, jangan jalan sendiri ya ke sininya
buat ambil motor, bareng kak Galang aja biar ada temennya.”
“Ya
bang.”
Tidak
lama setelahnya bang Bri datang.
“Ngapain
lu kesini?” Tanya bang El iseng.
“Owh
gitu, mentang-mentang ada Karin disini terus gue gaboleh dateng. Pengennya
berduaan mulu lu El El.” Timpal bang Bri meledek sambil perlahan menutup pintu
kos.
Aku
tertawa geli melihat tingkah mereka, aku pun berdiri menghampiri bang Bri dan
menariknya masuk.
“Bang
Bri kalem lah, dia bercanda kali. Jangan nangis yaa, cup cup cup” Ku ayunkan telapak
tanganku pada pundaknya.
“Aelahh,
minta dimanja lu ndroo. Sini sini sama abang.” Sahut bang El kemudian.
Yah,
akhirnya tingkah kekanak-kanakan mereka muncul. Ku lihat mereka sedang asik bercanda
layaknya dua orang anak kecil. Begitu manis, dan entah mengapa aku senang
melihat mereka seperti itu. Sebuah kebahagiaan tersendiri, kau tahu.
Senyumku
mengembang sempurna kala itu, betapa beruntungnya aku bisa menyaksikan
kebahagiaan mereka dengan mataku sendiri. Aku tidak ingin melewatkan moment
seperti ini dan aku harap, aku bisa terus melihat moment seperti ini sampai
kami sudah memiliki kehidupan baru masing-masing.
Kupikir
waktu hanya iri pada kebahagiaan kami sehingga nampaknya, waktu dengan segala
kuasanya begitu saja membuatku cepat-cepat menghentikan senyum ini. Jam telah
menunjukkan pukul 4.40. Memang belum jam 5, tetapi aku harus berjalan dan tidak
ingin terlambat karena tak ingin membayar denda.
“Bang
aku berangkat ya.” Ucapku pada merek berdua.
“Oh
iya, Bri anter Karin sampe belakang kampus ya.”
***
Hari
mulai malam, dan memang benar aku menyelesaikan semua tugasnya jam 10 tepat.
Aku teringat dengan pesan bang El di sore tadi. Aku mencari-cari keberadaan kak
Gilang, dan akhirnya aku tahu bahwa dia harus menyelesaikan beberapa hal yang
lain. Aku pikir tidak masalah lah kalau aku berjalan sendiri saja, toh aku
sudah biasa melakukan apapun sendiri.
Aku
berjalan perlahan dibawah lampu-lampu kuning jalanan. Terasa sunyi dan dingin,
itulah kota ini dimalam hari.
Ku
buka ponselku untuk memberi kabar bang El bahwa tugasku hari ini telah usai.
Kutulis “Bang, aku udah selesai ni. Lagi jalan.”
“Sama
kak Galang kan?” balasnya kemudian.
“Enggak
bang, soalnya dia masih ngurus yang lain lagi.”
“Lah,
berarti ini kamu jalan sendiri? Malem-malem? Jam 10? Cewek lagi? Km kan bisa
minta aku jemput? Udah dimana sekarang?”
Tidak
kusangka ia akan menghujaniku dengan semua pertanyaan itu dalam satu waktu. Segera
kusebutkan tempatku berada. Memang benar, tak lama setelahnya ia
menjemputku. Aku sudah kehabisan kata-kata setelah itu. Mengapa bang El begitu
baik padaku? Aku benar-benar bisa merasakan perhatian dan perlindungan seorang
kakak yang selama ini selalu aku dambakan. Yang kupikir mustahil, untuk anak
sulung sepertiku.
Seakan
Tuhan mendengarkan semua doa selama ini, yang kemudian Dia memberiku mereka.
Mereka yang kusebut abang. Mereka yang membuatku bersyukur atas hidupku, atas
kisahku, dan atas kehadiran mereka dalam hidupku. Oke, mungkin ini agak sedikit
berlebihan, tapi memang begitu adanya.
Sepanjang
jalan bang El, terus mengomeliku dengan sikapku tadi. Bahkan ketika kami sudah
sampai dikosnya pun masih sama. Ia belum juga berhenti, yaa aku harus apa? Itu
semua sudah terjadi. Mungkin aku memang yang salah, membawa kebiasaanku yang
serba sendiri itu sampai aku punya dia sebagai abangku. Ya, terima kasih sudah
memperhatikanku.
***
Baiklah,
kelas pagi itu memang terasa berat. Aku harus bangun pagi-pagi benar untuk mandi
dan kemudia bersiap-siap. Rumahku dan kampus bisa dibilang lumayanlah ya, 30
menit perjalanan.
Kelas
Bahasa Indonesia, satu-satunya mata kuliah dimana kami bertiga bisa satu kelas.
Jam menunjukkan pukul 8.30, kelas selesai. Entah mengapa dijam dan hari itu aku
teringat akan satu hal, kemi sama sekali belum memiliki foto bersama, salah satu
moment yang selalu ku tunggu. Sesegera mungkin aku mengambil foto bersama bang
El. Yah, sayangnya ini belum lengkap. Tenang, masih ada waktu lain untuk kami
mengambil foto bersama pikirku.
Namun
siapa sangka kalau ternyata moment itu adalah yang terakhir kali.
“Dee
bulan besok kamu jangan kesini dulu ya.” Ujarnya ketika aku kembali berada di
kosnya.
***
Jelas
saja aku menurut, tuan rumah yang menyuruhku tidak datang. Sejak saat itu aku
tidak pernah lagi datang, dan sejak saat itu semuanya benar-benar berbeda dan
berubah. Mereka bahkan tidak duduk dibelakangku lagi ketika kami satu kelas
Bahasa Indonesia, ya sebetulnya ini sudah kurasakan sejak lama sekali. Namun
apa dayaku yang hanya bisa berpikiran positif akan semua hal aneh yang terjadi,
hanya supaya aku berfikir semuanya akan tetap baik-baik saja.
Semuanya
jadi terasa aneh, kami tak lagi semudah dulu untuk mengobrol bahkan
menyapa. Kami jadi sama-sama kaku, bahkan terkadang aku merasa kami seperti
asing. Aku menjadi tak mengerti akan apa yang terjadi, semuanya tiba-tiba saja
terjadi tanpa adanya penjelasan. Seakan mereka berusaha untuk menjauhiku,
pikirku ketika aku berusaha mengkaitkan semua ini dengan kalimat yang bang El
sampaikan padaku. Atau karena aku melakukan kesalahan?
Aku
tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Membawa semuanya seorang diri aku
tidak mampu. Akhirnya ku beranikan diri untuk meceritakan semua ini pada bang
Bri, ya mungkin saja dia tahu dan mau membantuku.
“Kamu
aja udah ga pernah ke kos Rafael lagi.” ungkapnya padaku.
Astaga,
ku pikir dia sudah tahu. Jadi ini murni keinginan dan perlakuan bang El saja
yang berbeda. Ya, kupikir iya. Bahkan bang Bri saja tidak tahu apa-apa tentang
yang terjadi sebenarnya.
Membawa
semua pertanyaan ini seorang diri selama satu bulan? Seandainya itu semudah kau
membawa selembar kertas putih. Menerima kenyataan bahwa semua yang biasanya terjadi,
tidak terjadi, yang biasanya kau lihat tidak kau lihat, yang biasanya kau
dengar tidak kau dengar. Mungkin semua itu akan lebih mudah jika semuanya sudah
jelas. Ya, jika sudah jelas. Tapi kenyatanya, semua itu masih terus melayang-layang
di pikiranku. Masih terus menggantung. Aku hanya butuh jawaban, mengapa kau lakukan ini padaku bang?
Akhirnya
ku temukan seseorang yang mungkin bisa menolongku akan semua permasalahanku
ini. Di awal bulan baru dia membawaku bertemu pada bang El untuk menyelesaikan
dan memperjelas apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Oh
ya, lucu memang. Semua kekakuan yang ada selama satu bulan itu masih terbawa
sampai saat ini. Untuk berdiri di depan pintu kosnya saja aku merasa aneh,
apalagi masuk. Huh, menyebalkan memang moment ini. Bahkan bang El tidak berniat
mempersilahkan ku masuk. Oh God haruskah aku benar-benar masuk sekarang?
Pikirku bingung sendiri.
Namun
aku tak menyangka, suasana dan perasaanku ketika masuk dan sudah benar-benar
berada di dalam kamar kosnya itu masih terasa sama. Benar-benar sama. Selalu
saja membuatku nyaman dan tak ingin beranjak pergi. Beberapa tatanan memang
berbeda namun itu semua tetap tidak menghilangkan kenyamananku ketika berada di
sana. Termasuk semua wewangian yang ada. Itu hebat, dan ya lagi-lagi aku kagum.
“Jadi
gini dee, kamu ngerasa ada yang beda gak sama aku?” Tembaknya langsung pada
point permasalahan.
“Iya.”
Jawabku singkat namun penuh keyakinan.
Kemudian
bang El menjelaskan bahwa ia sedang tidak ingin dekat dengan cewek, siapapun.
Ia lelah untuk bermain-main dengan cewek.
“Kenapa
kamu gak bilang sama aku dari awal? Kamu kan bisa bilang kalau kamu butuh
waktu, aku bisa ngerti kok.”
“Ya
aku gak enak aja.”
“Kenapa
gak enak? Aku lebih seneng kamu jelasin dari awal. Karna kalau kamu diem aja
kayak gini aku kan jadi bertanya-tanya terus dan ngerasa aku punya salah sama
kamu.”
“Oh
berarti kamu belum bener-bener ngerti aku.” Boom!! tembak bang El seakan penuh
dengan nada kekecewaan.
“Ya.”
Jawabku singkat tanpa kata-kata lain, ya seakan ku ingin pergi saja dari
hadapnnya. Bahkan untuk berkata maaf saja aku tak mampu.
Sialnya,
satu kalimat itu langsung bisa menjawab semua pertanyaanku. Dia sedang malas
dengan cewek. Kalimat yang sudah sering kudapatkan dari bang Bri itu bahkan baru
bisa kupahami setelah dia sendiri yang menyampaikan dengan semua penjelasan
lainnya yang mendukung. Aku kehabisan kata-kata, aku tak tahu lagi apa yang
harus aku sampaikan dan aku tanyakan, semuanya yang telah kupersiapkan dimalam
tadi hilang entah kemana. Sial memang.
Apa
tidak ada kalimat dari bang El yang seakan tidak sedang menamparku keras. Ia
bahkan berkata sedang mendapat masalah. Astaga Karin, kemana saja kau selama
ini? Sahabatmu sedang mendapat kesusah seperti itu bahkan kau tidak bisa
membacanya dari raut wajah itu. Sekarang saja kau baru bisa melihatnya. Maaf
bang, aku baru bisa melihat itu. Kau terlalu hebat dalam menyembunyikan
kesedihanmu itu. Jadi apa dayaku? Kau yang selalu membuat kami tertawa. Jadi siapa sangka bahwa itu adalah caramu untuk menyembunyikan semua kesedihan
itu. Mungkin ini adalah keahlianmu, dan lagi-lagi aku kagum.
Raut
wajah itu baru bisa ku pahami sekarang, selama ini aku sudah terlalu dibutakan
oleh semua pertanyaan yang selalu menghantuiku. Jadi tolong sudahlah, jangan kau
memasang wajah seperti itu, sakit bang. Hatiku teriris. Sahabat macam apa aku?
Bahkan saat temanku itu berhasil membuatmu tertawa. Tawamu itu tak lagi terasa
menyenangkan. Tidak, Itu semakin terasa menyesakkan.
Bahkan
aku, dengan bodohnya semakin merusak semuanya. Mengatakan satu kalimat yang
kurang memang terkadang bisa menjadikan makna yang dimunculkan berbeda. Sial, ku
ingin pergi saja! Bodohnya aku melakukan itu.
Kulihat
ia sedikit emosi, itu sangat jelas terlihat. Namun kali ini ia masih tetap sama
seperti bang El yang dulu, selalu pintar dalam hal menahan emosi. Ya itu menurutku,
yang ku tahu sejak kami berteman.
“Aku
cuma gamau kamu ikut arus hidupku yang ga baik. Kamu cewek baik-baik, anak baik.
Aku enggak, aku bukan cowok baik-baik
buat kamu.”
“Gak
bang, kamu gak kayak gitu. Nyatanya aku gak liat keburukan itu dari kamu. Kamu
itu orang baik yang aku kenal.”
“Kamu
gak tahu masa lalu aku.”
“Kamu
gak pernah cerita, gimana aku mau tahu.”Sial, Karin itu jawaban orang bodoh. “Ah,
itu cuma masa lalu, ini masa sekarang bang. Aku gak pernah perduli masa lalumu
mau seburuk apa, yang penting kan sekarang kamu orang baik. Bahkan kamu
satu-satunya cowok terbaik yang aku kenal. Yang penting itu sekarang bang, masa
lalu harusnya kita kenang aja. Masa lalu, tidak pernah dan jangan pernah kita
bawa pada masa sekarang.Jangan samakan masa lalu dengan masa sekarang.Kita
bahkan hidup dimasa yang berbeda.Itu berbeda. Jadi ku harap kamu gak akan
bilang lagi kalau kamu bukan cowok baik-baik.” Yaa.Ku harap aku bisa katakan
ini kalau saja semua kata-kataku yang sudah ada tidak hilang tiba-tiba. Justru
kata-kata bodoh itu yang tertinggal. Huh, sial.
“Jadi
kita gak bisa sedeket dulu lagi. Kedekatan kita hanya sebatas teman, biasa. Tapi,
kamu masih boleh anggep aku abangmu. Kita masih bisa jadi kakak, adik. Tapi
hanya sebatas teman, biasa.” Ungkapnya memperjelas.
Semuanya
sudah jelas dan semuanya sudah berakhir. Aku teringat dengan kata-katanya ketika dia berkata bahwa ia lelah untuk bermain-main dengan cewek. Hmm, tunggu. Bermain-main dengan cewek? Jadi? Aku ini mainannya? Astaga, yang benar saja. Ternyata yang selama ini aku pikirkan itu benar adanya. Bahwa dia ingin berteman denganku sebab ia memang butuh seseorang untuk mengisi kekosongannya. Ah sudahlah, toh dia memperlakukanku baik. Ataupun jika semua kebaikan itu hanya sandiwara semata aku juga tidak peduli, toh itu urusan dia denganku. Jadi sekarang aku hanya bisa merindukan abangku yang
dulu, dimana aku benar-benar bisa merasakan memiliki seseorang yang mereka sebut abang. Perhatian dan kasih sayang seorang abang
sekaligus sahabat cowok yang sempat ku rasakan indahnya. Kini ku hanya bisa menerima kenyataan, bahwa semua itu hanyalah sebuah mimpi yang hadir begitu cepat, dan menghilang begitu cepat pula. Kisah ini hanya akan jadi sebuah kisah yang
pernah ada. Dan dengan berat, ku sebut ini sebagai masa lalu. Masa lalu yang
tidak pernah bisa ku samakan dengan masa sekarang. Yaa benar, maka dari itu aku
sebut ini. Selesai[v]