Wednesday, January 9, 2019

KISAH INI PERNAH ADA


KISAH INI PERNAH ADA

                Dua orang lelaki itu datang menghampiriku dengan senyum ceria menghiasi wajahnya, tangan mereka dipenuhi beberapa mangkuk mie ayam.
            “Silahkan nona ini hidangannya sudah siap” Ucap salah satu dari mereka yang bertubuh tinggi dengan wajahnya sedikit menggoda.
            Rafael Deven. Cowok player yang sudah menjadi sahabatku sejak pertama kali aku menjadi mahasiswa. Tatapannya yang genit, tubuhnya yang tinggi, dan cara berpakaiannya itu membuatku terhipnotis. Tunggu, dia memang sahabatku tapi aku mengaguminya. Hanya sekedar mengaguminya, tidak jatuh cinta atau selebihnya.
            “Selamat makan!” Ucap seorang yang lain.
            Brian Aditya. Cowok yang sangat berbeda dengan Rafael. Cowok kalem yang juga sudah menjadi sahabatku sejak pertama kali aku menjadi mahasiswa. Tatapannya yang lebih menyejukkan, dan sikapnya yang periang itu selalu menjadi obat kebahagiaanku.
            Ya, jadi mereka berdua adalah sahabatku sekaligus abang.
Seusai makan kami langsung menuju ke kampus. Jarak dari tempat kami makan, ke kampus tidak jauh, jadi kami hanya berjalan kaki.
“Kok lu pendek sih Bri? Cowok tu harusnya tinggi kayak gue”
“Parah lu bang” Ujarku sambil menepuk pundak bang El.
“Biar dah, yang penting ganteng.” Balas Brian berlagak sombong.
Sontak tawa kami berderai. Tertawa lepas seakan jalan hanya milik kami bertiga.
Bang El merangkul dan mengacak pangkal rambut kami berdua dengan tawanya yang masih terlukis di wajahnya. “Nggak-nggak. Mau kalian pendek, jelek, bahkan gak punya duit pun kalian tetep  adek-adek kesayangan gue.”
Tanpa sadar kami sudah sampai di kampus. 
“Yaudah bang, aku mau ketemu temen dulu.”
“Yaudah kita tunggu di kantin sama temen-temenku. Jangan lama-lama, nanti bang Bri kangen hlo.” Ucap bang El tersenyum.
Aku pun pergi dengan senyuman yang masih menghiasi wajahku.

***

            Ku lihat sebuah pesan di layar ponselku dari bang El. Tulisnya “Dee, kita di tempat duduk paling pojok kantin ya, nanti langsung kesini aja. Gapapa kan ada temen-temenku?”
            “Gapapa bang, ini aku udah mau jalan ke kantin.” Balasku
            Sedetik setelah ku kirim balasanku padanya, balasaan pesan itu sudah datang lagi ke layar chatku “Yaudah ati-ati jalannya, awas kesandung.”
            “E, e, mak” umpatku keras setelah kakiku menyandung sebuah batu yang tergeletak sembarangan dijalan. Uuh sial, bagaimana bisa bang El mengatakan itu sebelum aku benar-benar tersandung.
            Aku berjalan perlahan menghampiri abangku disana. Tidak kusangka ia akan menghampiriku ditempatku berdiri saat ini. Sedikit ku lempar pandanganku pada teman-teman abang, dan ya sekarang semua menatap kearah kami. Ada bang Bri juga disana sedang menatap kami.
“Mau langsung balik kos atau disini dulu?” Tanyanya padaku.
“Disini dulu juga gapapa.”
“Yaudah ayo sini.” Ia mengajakku untuk duduk bergabung bersama teman-temannya.
Ya, ini pertama kalinya ia mengajakku bergabung bersama teman-temannya setelah pertemanan kami yang cukup lama.
“Siapa El? temen?” Tanya seorang pada abang.
“Yaa, Lex temen.”
“Oh, Karin temennya Rafael?” Tanya seorang teman abang yang bernama Alex itu padaku.
“Iya.” Jawabku singkat.
Untuk pertama kalinya aku bergabung besama mereka, jujur aku hanya bisa diam, sebab mereka masih terlalu asing untukku, tapi aku senang bisa duduk disini bersama mereka. Aku duduk disamping bang El sambil mengamati tingkah-tingkah temannya, sedangkan ia sibuk memainkan poniku yang dikucir menyundul itu. Hmm, menurutku mereka teman-teman yang baik, dan asik tentunya, aku harap suatu saat aku bisa selalu duduk disini bersama mereka dan menjadi salah satu dari mereka.
Waktu terus berjalan, dan tidak kusangka jam menunjukkan pukul setengah tiga sore. Aku dan bang El pun segera kembali ke kosnya, sedangkan bang Bri sedang mengurus uang kuliahnya.
Kosnya tak jauh dari kampus, cukup berjalan kaki saja. Namun nampaknya cuaca tak mendukung kami untuk berjalan kaki, gerimis-gerimis kecil mulai mengguyur tubuh kami. Aku berjalan sedikit lebih dulu dibandingkan abang, berharap kami akan segera sampai dan tidak akan kehujanan. Namun siapa sangka, bang El akan melepas jaketnya untuk menutupi kepalaku dari rintik hujan. Astaga. Apa ini kisah sinetron, FTV atau semacamnya, pikirku senang.
Untung saja hujan tidak deras mengguyur, jadi baju dan kepala kami masih dalam kondisi nyaman dan aman.
“Bang aku disini dulu yaa, nanti jam 5 ada rapat panitia soalnya, abis itu ngamen.” Ucapku sedikit malas.
“Okay siapp gapapa, sampe jam berapa emangnya?”
“Gatau tuh, mungkin jam 10an.”
“Malem banget dee, nanti kalo kamu dah mau pulang, jangan jalan sendiri ya ke sininya buat ambil motor, bareng kak Galang aja biar ada temennya.”
“Ya bang.”
Tidak lama setelahnya bang Bri datang.
“Ngapain lu kesini?” Tanya bang El iseng.
“Owh gitu, mentang-mentang ada Karin disini terus gue gaboleh dateng. Pengennya berduaan mulu lu El El.” Timpal bang Bri meledek sambil perlahan menutup pintu kos.
Aku tertawa geli melihat tingkah mereka, aku pun berdiri menghampiri bang Bri dan menariknya masuk.
“Bang Bri kalem lah, dia bercanda kali. Jangan nangis yaa, cup cup cup” Ku ayunkan telapak tanganku pada pundaknya.
“Aelahh, minta dimanja lu ndroo. Sini sini sama abang.” Sahut bang El kemudian.
Yah, akhirnya tingkah kekanak-kanakan mereka muncul. Ku lihat mereka sedang asik bercanda layaknya dua orang anak kecil. Begitu manis, dan entah mengapa aku senang melihat mereka seperti itu. Sebuah kebahagiaan tersendiri, kau tahu.
Senyumku mengembang sempurna kala itu, betapa beruntungnya aku bisa menyaksikan kebahagiaan mereka dengan mataku sendiri. Aku tidak ingin melewatkan moment seperti ini dan aku harap, aku bisa terus melihat moment seperti ini sampai kami sudah memiliki kehidupan baru masing-masing.
Kupikir waktu hanya iri pada kebahagiaan kami sehingga nampaknya, waktu dengan segala kuasanya begitu saja membuatku cepat-cepat menghentikan senyum ini. Jam telah menunjukkan pukul 4.40. Memang belum jam 5, tetapi aku harus berjalan dan tidak ingin terlambat karena tak ingin membayar denda.
“Bang aku berangkat ya.” Ucapku pada merek berdua.
“Oh iya, Bri anter Karin sampe belakang kampus ya.”

***

Hari mulai malam, dan memang benar aku menyelesaikan semua tugasnya jam 10 tepat. Aku teringat dengan pesan bang El di sore tadi. Aku mencari-cari keberadaan kak Gilang, dan akhirnya aku tahu bahwa dia harus menyelesaikan beberapa hal yang lain. Aku pikir tidak masalah lah kalau aku berjalan sendiri saja, toh aku sudah biasa melakukan apapun sendiri.
Aku berjalan perlahan dibawah lampu-lampu kuning jalanan. Terasa sunyi dan dingin, itulah kota ini dimalam hari.
Ku buka ponselku untuk memberi kabar bang El bahwa tugasku hari ini telah usai. Kutulis “Bang, aku udah selesai ni. Lagi jalan.”
“Sama kak Galang kan?” balasnya kemudian.
“Enggak bang, soalnya dia masih ngurus yang lain lagi.”
“Lah, berarti ini kamu jalan sendiri? Malem-malem? Jam 10? Cewek lagi? Km kan bisa minta aku jemput? Udah dimana sekarang?”
Tidak kusangka ia akan menghujaniku dengan semua pertanyaan itu dalam satu waktu. Segera kusebutkan tempatku berada. Memang benar, tak lama setelahnya ia menjemputku. Aku sudah kehabisan kata-kata setelah itu. Mengapa bang El begitu baik padaku? Aku benar-benar bisa merasakan perhatian dan perlindungan seorang kakak yang selama ini selalu aku dambakan. Yang kupikir mustahil, untuk anak sulung sepertiku.
Seakan Tuhan mendengarkan semua doa selama ini, yang kemudian Dia memberiku mereka. Mereka yang kusebut abang. Mereka yang membuatku bersyukur atas hidupku, atas kisahku, dan atas kehadiran mereka dalam hidupku. Oke, mungkin ini agak sedikit berlebihan, tapi memang begitu adanya.
Sepanjang jalan bang El, terus mengomeliku dengan sikapku tadi. Bahkan ketika kami sudah sampai dikosnya pun masih sama. Ia belum juga berhenti, yaa aku harus apa? Itu semua sudah terjadi. Mungkin aku memang yang salah, membawa kebiasaanku yang serba sendiri itu sampai aku punya dia sebagai abangku. Ya, terima kasih sudah memperhatikanku.

***

Baiklah, kelas pagi itu memang terasa berat. Aku harus bangun pagi-pagi benar untuk mandi dan kemudia bersiap-siap. Rumahku dan kampus bisa dibilang lumayanlah ya, 30 menit perjalanan.
Kelas Bahasa Indonesia, satu-satunya mata kuliah dimana kami bertiga bisa satu kelas. Jam menunjukkan pukul 8.30, kelas selesai. Entah mengapa dijam dan hari itu aku teringat akan satu hal, kemi sama sekali belum memiliki foto bersama, salah satu moment yang selalu ku tunggu. Sesegera mungkin aku mengambil foto bersama bang El. Yah, sayangnya ini belum lengkap. Tenang, masih ada waktu lain untuk kami mengambil foto bersama pikirku.
Namun siapa sangka kalau ternyata moment itu adalah yang terakhir kali.
“Dee bulan besok kamu jangan kesini dulu ya.” Ujarnya ketika aku kembali berada di kosnya.

***

Jelas saja aku menurut, tuan rumah yang menyuruhku tidak datang. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi datang, dan sejak saat itu semuanya benar-benar berbeda dan berubah. Mereka bahkan tidak duduk dibelakangku lagi ketika kami satu kelas Bahasa Indonesia, ya sebetulnya ini sudah kurasakan sejak lama sekali. Namun apa dayaku yang hanya bisa berpikiran positif akan semua hal aneh yang terjadi, hanya supaya aku berfikir semuanya akan tetap baik-baik saja. 
Semuanya jadi terasa aneh, kami tak lagi semudah dulu untuk mengobrol bahkan menyapa. Kami jadi sama-sama kaku, bahkan terkadang aku merasa kami seperti asing. Aku menjadi tak mengerti akan apa yang terjadi, semuanya tiba-tiba saja terjadi tanpa adanya penjelasan. Seakan mereka berusaha untuk menjauhiku, pikirku ketika aku berusaha mengkaitkan semua ini dengan kalimat yang bang El sampaikan padaku. Atau karena aku melakukan kesalahan?
Aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Membawa semuanya seorang diri aku tidak mampu. Akhirnya ku beranikan diri untuk meceritakan semua ini pada bang Bri, ya mungkin saja dia tahu dan mau membantuku.
“Kamu aja udah ga pernah ke kos Rafael lagi.” ungkapnya padaku.
Astaga, ku pikir dia sudah tahu. Jadi ini murni keinginan dan perlakuan bang El saja yang berbeda. Ya, kupikir iya. Bahkan bang Bri saja tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi sebenarnya.
Membawa semua pertanyaan ini seorang diri selama satu bulan? Seandainya itu semudah kau membawa selembar kertas putih. Menerima kenyataan bahwa semua yang biasanya terjadi, tidak terjadi, yang biasanya kau lihat tidak kau lihat, yang biasanya kau dengar tidak kau dengar. Mungkin semua itu akan lebih mudah jika semuanya sudah jelas. Ya, jika sudah jelas. Tapi kenyatanya, semua itu masih terus melayang-layang di pikiranku. Masih terus menggantung. Aku hanya butuh jawaban, mengapa kau lakukan ini padaku bang?
Akhirnya ku temukan seseorang yang mungkin bisa menolongku akan semua permasalahanku ini. Di awal bulan baru dia membawaku bertemu pada bang El untuk menyelesaikan dan memperjelas apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Oh ya, lucu memang. Semua kekakuan yang ada selama satu bulan itu masih terbawa sampai saat ini. Untuk berdiri di depan pintu kosnya saja aku merasa aneh, apalagi masuk. Huh, menyebalkan memang moment ini. Bahkan bang El tidak berniat mempersilahkan ku masuk. Oh God haruskah aku benar-benar masuk sekarang? Pikirku bingung sendiri.
Namun aku tak menyangka, suasana dan perasaanku ketika masuk dan sudah benar-benar berada di dalam kamar kosnya itu masih terasa sama. Benar-benar sama. Selalu saja membuatku nyaman dan tak ingin beranjak pergi. Beberapa tatanan memang berbeda namun itu semua tetap tidak menghilangkan kenyamananku ketika berada di sana. Termasuk semua wewangian yang ada. Itu hebat, dan ya lagi-lagi aku kagum.
“Jadi gini dee, kamu ngerasa ada yang beda gak sama aku?” Tembaknya langsung pada point permasalahan.
“Iya.” Jawabku singkat namun penuh keyakinan.
Kemudian bang El menjelaskan bahwa ia sedang tidak ingin dekat dengan cewek, siapapun. Ia lelah untuk bermain-main dengan cewek. 
“Kenapa kamu gak bilang sama aku dari awal? Kamu kan bisa bilang kalau kamu butuh waktu, aku bisa ngerti kok.”
“Ya aku gak enak aja.”
“Kenapa gak enak? Aku lebih seneng kamu jelasin dari awal. Karna kalau kamu diem aja kayak gini aku kan jadi bertanya-tanya terus dan ngerasa aku punya salah sama kamu.”
“Oh berarti kamu belum bener-bener ngerti aku.” Boom!! tembak bang El seakan penuh dengan nada kekecewaan.
“Ya.” Jawabku singkat tanpa kata-kata lain, ya seakan ku ingin pergi saja dari hadapnnya. Bahkan untuk berkata maaf saja aku tak mampu.
Sialnya, satu kalimat itu langsung bisa menjawab semua pertanyaanku. Dia sedang malas dengan cewek. Kalimat yang sudah sering kudapatkan dari bang Bri itu bahkan baru bisa kupahami setelah dia sendiri yang menyampaikan dengan semua penjelasan lainnya yang mendukung. Aku kehabisan kata-kata, aku tak tahu lagi apa yang harus aku sampaikan dan aku tanyakan, semuanya yang telah kupersiapkan dimalam tadi hilang entah kemana. Sial memang.
Apa tidak ada kalimat dari bang El yang seakan tidak sedang menamparku keras. Ia bahkan berkata sedang mendapat masalah. Astaga Karin, kemana saja kau selama ini? Sahabatmu sedang mendapat kesusah seperti itu bahkan kau tidak bisa membacanya dari raut wajah itu. Sekarang saja kau baru bisa melihatnya. Maaf bang, aku baru bisa melihat itu. Kau terlalu hebat dalam menyembunyikan kesedihanmu itu. Jadi apa dayaku? Kau yang selalu membuat kami tertawa. Jadi siapa sangka bahwa itu adalah caramu untuk menyembunyikan semua kesedihan itu. Mungkin ini adalah keahlianmu, dan lagi-lagi aku kagum.
Raut wajah itu baru bisa ku pahami sekarang, selama ini aku sudah terlalu dibutakan oleh semua pertanyaan yang selalu menghantuiku. Jadi tolong sudahlah, jangan kau memasang wajah seperti itu, sakit bang. Hatiku teriris. Sahabat macam apa aku? Bahkan saat temanku itu berhasil membuatmu tertawa. Tawamu itu tak lagi terasa menyenangkan. Tidak, Itu semakin terasa menyesakkan.
Bahkan aku, dengan bodohnya semakin merusak semuanya. Mengatakan satu kalimat yang kurang memang terkadang bisa menjadikan makna yang dimunculkan berbeda. Sial, ku ingin pergi saja! Bodohnya aku melakukan itu.
Kulihat ia sedikit emosi, itu sangat jelas terlihat. Namun kali ini ia masih tetap sama seperti bang El yang dulu, selalu pintar dalam hal menahan emosi. Ya itu menurutku, yang ku tahu sejak kami berteman.
“Aku cuma gamau kamu ikut arus hidupku yang ga baik. Kamu cewek baik-baik, anak baik. Aku enggak, aku  bukan cowok baik-baik buat kamu.”
“Gak bang, kamu gak kayak gitu. Nyatanya aku gak liat keburukan itu dari kamu. Kamu itu orang baik yang aku kenal.”
“Kamu gak tahu masa lalu aku.”
“Kamu gak pernah cerita, gimana aku mau tahu.”Sial, Karin itu jawaban orang bodoh. “Ah, itu cuma masa lalu, ini masa sekarang bang. Aku gak pernah perduli masa lalumu mau seburuk apa, yang penting kan sekarang kamu orang baik. Bahkan kamu satu-satunya cowok terbaik yang aku kenal. Yang penting itu sekarang bang, masa lalu harusnya kita kenang aja. Masa lalu, tidak pernah dan jangan pernah kita bawa pada masa sekarang.Jangan samakan masa lalu dengan masa sekarang.Kita bahkan hidup dimasa yang berbeda.Itu berbeda. Jadi ku harap kamu gak akan bilang lagi kalau kamu bukan cowok baik-baik.” Yaa.Ku harap aku bisa katakan ini kalau saja semua kata-kataku yang sudah ada tidak hilang tiba-tiba. Justru kata-kata bodoh itu yang tertinggal. Huh, sial.
“Jadi kita gak bisa sedeket dulu lagi. Kedekatan kita hanya sebatas teman, biasa. Tapi, kamu masih boleh anggep aku abangmu. Kita masih bisa jadi kakak, adik. Tapi hanya sebatas teman, biasa.” Ungkapnya memperjelas.
Semuanya sudah jelas dan semuanya sudah berakhir. Aku teringat dengan kata-katanya ketika dia berkata bahwa ia lelah untuk bermain-main dengan cewek. Hmm, tunggu. Bermain-main dengan cewek? Jadi? Aku ini mainannya? Astaga, yang benar saja. Ternyata yang selama ini aku pikirkan itu benar adanya. Bahwa dia ingin berteman denganku sebab ia memang butuh seseorang untuk mengisi kekosongannya. Ah sudahlah, toh dia memperlakukanku baik. Ataupun jika semua kebaikan itu hanya sandiwara semata aku juga tidak peduli, toh itu urusan dia denganku. Jadi sekarang aku hanya bisa merindukan abangku yang dulu, dimana aku benar-benar bisa merasakan memiliki seseorang yang mereka sebut abang.  Perhatian dan kasih sayang seorang abang sekaligus sahabat cowok yang sempat ku rasakan indahnya. Kini ku hanya bisa menerima kenyataan, bahwa semua itu hanyalah sebuah mimpi yang hadir begitu cepat, dan menghilang begitu cepat pula. Kisah ini hanya akan jadi sebuah kisah yang pernah ada. Dan dengan berat, ku sebut ini sebagai masa lalu. Masa lalu yang tidak pernah bisa ku samakan dengan masa sekarang. Yaa benar, maka dari itu aku sebut ini. Selesai[v]




No comments:

Post a Comment